Oleh Dr. Umar Zein
Sampai sekarang, untuk menjadi seorang dokter umum, butuh perjuangan yang lebih dibanding untuk menjadi sarjana lainnya. Bukan berarti dokter lebih hebat dari sarjana atau profesi lain, tapi memang pendidikan dokter berbeda dengan ilmu lain. Untuk jadi dokter harus berani berhadapan dengan mayat (meski sudah diawetkan), harus sanggup melihat darah mengucur dari tubuh pasien, harus menjalani tugas jaga dan menerima pasien di malam hari, harus menghadapi kasus-kasus kematian tidak wajar di Departemen Forensik dan harus bertugas ke luar daerah tempat pendidikan selama beberapa minggu.
Perjalanan dalam menempuh pendidikan itu, membuat seorang dokter harus mampu menghadapi segala tantangan dan tidak mudah mengeluh dalam menghadapi hidup ini. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tercatat nama beberapa dokter yang ikut berpolitik dan bahkan berperang di medan laga.
Setiap kali memperingati Hari Kebangkitan Nasional, mau tak mau, kita akan mengenang kiprah dokter Wahidin Sudirohusodo dan teman-temannya. Mereka berada di tengah masyarakatnya dan dengan tulus merawat, mengobati, dan menumbuhkan semangat untuk lepas dari ketertindasan dan penjajahan serta berjuang menjadi bangsa yang terhormat. Para founding father kedokteran di Indonesia ini mengingatkan kita bahwa dokter terlahir sebagai profesi mulia dan menyandang trias peran dokter : agent of change, agent of development, dan agent of treatment.
Dokter adalah figur yang mengabdikan profesinya, tanpa terpengaruh pertimbangan-pertimbangan agama, kedudukan sosial, jenis kelamin, suku dan politik kepartaian. Artinya, dalam pekerjaan keprofesiannya dokter sarat dengan nilai kesetaraan. Sebuah nilai yang dapat menumbuhkan rasa ketertindasan yang sama akibat proses penjajahan yang akhirnya menimbulkan rasa nasionalisme.
Sejarah Perjuangan Dokter
Cikal bakal Ikatan Dokter Indonesia adalah perhimpunan yang bernama Vereniging van lndische Artsen tahun 1911, dengan ketuanya dr. J.A.Kayadu. Selain itu, tercatat nama-nama seperti dr.Wahidin, dr. Soetomo dan dr. Tjipto Mangunkusumo, yang bergerak dalam lapangan sosial dan politik. Walau mereka sudah meninggal, tapi mereka berumur panjang. Nama mereka diabadikan dan tetap dikenang sepanjang masa. Kemudian dikenal pula dr. Mangkoewinoto, dr. Soesilo dan dr. Kodijat yang berjuang di bidang penyakit menular serta dr. Kawilarang, dr. Sitanala, dr. Asikin Widjajakusumah dan dr. Sardjito. Nama yang terakhir ini terkenal dengan majalahnya Medische Berichten yang diterbitkan di Semarang bersama dr. A. Moechtar dan dr. Boentaran. Pada tahun 1926 perkumpulan berganti nama menjadi Vereniging van Indonesische Geneeskundige (VIG).
Menurut Prof Bahder Djohan yang pernah menjadi sekretaris VIG selama 11 tahun (1928-1938), perubahan nama ini dengan landasan politik yang menjelma dari timbulnya rasa nasionalisme (karena dokter pribumi dianggap sebagai dokter kelas dua) sehingga membuat kata "Indische" menjadi "Indonesische" dalam VIG. Dengan demikian, profesi dokter telah menimbulkan rasa kesatuan atau paling tidak meletakkan sendi-sendi rasa persatuan.
Prof Bahder Djohan mengatakan pula, tujuan VIG ialah menyuarakan pendapat dokter, dimana pada masa itu persoalan yang pokok ialah menyamakan kedudukan antara dokter-dokter pribumi dengan dokter Belanda dalam segi kualitasnya yang tidak kalah. Kongres VIG tahun 1940 di Solo menugaskan Bahder Djohan membina serta memikirkan istilah-istilah baru dalam dunia kedokteran. Masa itu telah terkumpul 3000 istilah baru dalam dunia kedokteran. Usaha-usaha VIG lainnya yang patut diketengahkan yakni peningkatan gaji (upah) dokter-dokter "Melayu" agar mempunyai derajat yang sama dengan dokter Belanda, yang mencapai 70% dari jumlah semula (50%). Selain itu, memberi kesempatan dan pendidikan bagi dokter "Melayu" menjadi asisten dengan prioritas pertama.
Dalam masa pendudukan Jepang (1943), VIG dibubarkan dan diganti menjadi Jawa Izi Hooko Kai. Selanjutnya pada tahun 1948 didirikan Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI), yang dimotori kalangan dokter-dokter muda di bawah pimpinan dr. Darma Setiawan Notohadmojo. Pendirian PDI berdasarkan kehendak situasi dan tuntutan zaman yang berkembang pendapat-pendapat atau tinjauan-tinjauan baru dalam suasana serta semangat yang baru pada waktu itu. Dengan demikian PDI berfungsi sebagai badan perjuangan di daerah pendudukan Belanda.
Hampir bersamaan berkembang pula Persatuan Thabib Indonesia (Perthabin) cabang Yogya yang dianggap sebagai kelanjutan VIG masa tersebut. Karena tidak mungkin Perthabin dan PDI menjadi wadah dokter di Indonesia, maka dicapai mufakat antara Perthabin dan PDI untuk mendirikan suatu perhimpunan dokter baru.
Dr. Soeharto berpendapat bahwa perkumpulan dokter yang ada sejak 1911 telah rusak di zaman kependudukan Jepang. Lagi pula organisasi yang bernama Jawa Izi Hooko Kai hanya terbatas di Pulau Jawa saja. Dia menilai perkumpulan tersebut tidak berfungsi dan hanya sebagai penyalur politik Jepang. Dasar pemikiran inilah digunakan untuk mendirikan suatu perkumpulan dokter baru yang sesuai dengan alam pikiran dan jiwa kemerdekaan serta sesuai dengan indentitas kita, yakni persatuan. Diharapkan perkumpulan kedokteran tersebut dapat menjadi semacam perkumpulan persatuan.
Pada tahun 1945, dokter-dokter Indonesia belum mempunyai kesempatan mendirikan suatu wadah dokter di Indonesia yang berskala nasional. Kesempatan ini baru ada setelah diperoleh pengakuan dari Belanda (RIS). Sebetulnya ide untuk mendirikan perhimpunan dokter di Indonesia telah lama ada. Karena situasilah yang menyebabkan terdapatnya bermacam-macam dokter, seperti dokter di daerah pendudukan, di daerah republik federal dan masalahnya mereka belum mempunyai kesempatan untuk menyatu. Di masa dahulu dikenal 3 macam dokter Indonesia, ada dokter Jawa keluaran sekolah dokter Jawa, ada Indische Arts keluaran Stovia dan NIAS serta ada pula dokter lulusan Faculteit Medica Batvienis pada tahun 1927.
Kebutuhan Dokter dan Perjuangan di Desa
Sampai kini, kebutuhan akan tenaga dokter di Indonesia secara proporsional masih belum optimal. Namun peningkatan jumlah dokter dan penyebarannya di seluruh wilayah nusantara jelas meningkat signifikan. Penanggulangan penyakit menular yang telah giat dilaksanakan sejak pendudukan Belanda, sampai kini terus berlangsung tiada henti. Pembentukan Puskesmas sejak era tahun 70-an merupakan terobosan yang membawa dampak perubahan kesehatan masyarakat.
Masyarakat terpencil yang tadinya tidak pernah mengenal dokter, kini mendapat perhatian yang serius dari dokter. Bahkan, profesi yang pertama kali masuk desa di Indonesia ini adalah dokter. Sejatinya, darah pengabdian mengalir di tubuh seorang dokter. Tanggung jawab dan kepuasan profesi mengalahkan medan tugas yang penuh tantangan. Derajat kesehatan secara perlahan, tapi pasti, terus meningkat. Dukun beranak dilatih dan diberi peralatan medis agar penyakit tetanus neonatorum tidak terjadi. Hasilnya, kini kita sudah jarang menemukan kasusnya.
Kesehatan dan Ketahanan Nasional
Sehat bukan hanya tidak sakit. Menurut World Health Organization: "..Health is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely an absence of disease or infirmity..." Pengertian sehat fisik, umumnya sudah diketahui dengan jelas. Nilai HDI (Human Development Index) Indonesia menggambarkan bahwa secara fisik bangsa ini masih sakit-sakitan. Padahal dari definisi sehat, jelas sekali bahwa sehat juga meliputi kondisi fisik-mental-sosial. Lalu, bagaimana dengan status kesehatan mental dan sosial bangsa Indonesia?
Kesehatan belum sepenuhnya dipandang sebagai unsur utama Ketahanan Nasional, sehingga anak bangsa sebagai generasi penerus belum secara optimal dilihat sebagai subjek pembangunan kesehatan. Kecukupan gizi, pemeliharaan kesehatan, pendidikan dan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya sumber daya manusia masa depan yang handal dan aset bangsa untuk menopang Ketahanan Nasional harus lebih mendapatkan perhatian.
Cara pandang dan kepemimpinan yang memahami kesehatan sebagai pengobatan saja (paradigma sakit) dan tanggung jawab sektor kesehatan saja, bukan tanggung jawab semua sektor, tidak menempatkan kesehatan sebagai mainstream pembangunan nasional. Pembangunan Nasional yang dilaksanakan berbagai sektor belum fokus membangun bangsa yang sehat. Bangsa yang sehat berarti sehat fisik dan mental, sehat lingkungan dan sehat sosial dan finansial. Paradigma sehat perlu dipahami oleh semua sektor dan para pengambil dan penentu kebijakan di negeri ini agar terciptanya rakyat sehat dan cerdas.
Pengaruh globalisasi, liberalisasi perdagangan, dan pelayanan melalui berbagai kesepakatan internasional, akan mempengaruhi kelancaran dan kemandirian penyelenggaraan upaya kesehatan, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional di masa mendatang. Banyak negara berhasil membangun paradigma sehat yang bisa ditiru dan diterapkan metodenya di Indoensia. Kemandirian dan keberanian menghadapi tantangan sudah kita buktikan sejak seabad yang lalu. Mengapa saat ini kita tidak berani menampilkannya kembali sebagai bentuk kebangkitan yang baru, penuh percaya diri, bersih dan transparan serta sepi dari konflik internal.
Rakyat Sehat, Negara Kuat. Bangunlah Indonesia, bangkitlah kita kembali !
Sumber : WASPADA Online
* Penulis adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan