Saturday, June 6, 2009

Kasus Prita "Versus" Akhlak Dokter


Sabtu, 6 Juni 2009 | 03:10 WIB

HANDRAWAN NADESUL

Penilaian dan sikap pengendalian masyarakat pasien sebagai sistem kontrol yang efektif terhadap eloknya layanan medis. (Telaah Kisch & Reeder)

Kasus Prita bukan cuma satu. Tak sedikit pasien kita yang dikecewakan dokter atau rumah sakit akhirnya merasa diabaikan.

Tanpa melacak apa di balik kasus itu, kasus Prita masih akan terus menjadi endemis. Anggapan bahwa ”dokter selalu benar, pasien pasti salah” atau ”mana mungkin pasien salah, dokter pasti salah” perlu dilempangkan.

Dokter dan rumah sakit bukan pihak yang untouchable. Kerja profesi dokter sudah lengkap diberi ”pagar”. Pendidikan etika kedokteran saat sekolah, sumpah dokter kepada Yang Maha Mengawasi saat lulus, dan selama berpraktik dokter dipandu oleh perangkat Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang- Undang Praktik Kedokteran. Tiap dokter menginsafi semua itu.

Dokter mau berbicara

Bukan sikap kesengajaan profesi dokter kalau muncul kasus. Bukan karena semua dokter ingin melompati ”pagar” yang disepakati. Lebih sering, ada yang lebih kuat dari hanya hukum dan regulasi jika praktik dokter tampil tak elok di mata pasien.

Ada dua hal yang membuat kinerja profesi dokter tidak elok, yaitu komunikasi dokter dengan pasien dan akhlak dokter sendiri.

Soal komunikasi, harus diakui, opini pasien ihwal penyakitnya belum tentu sama dengan opini medis. Makin terbatas wawasan medis pasien, makin banyak yang perlu dokter komunikasikan. Salah sangka pasien terhadap kasus medisnya lebih sering karena dokter menjawab pasien hanya jika ditanya.

Kasus Steven-Johnson, misalnya. Ini kasus alergi hebat yang bisa mengancam nyawa pasien akibat obat atau suntikan. Kita tahu, dalam tradisi berobat, pasien kita umumnya tak memiliki ”paspor” kesehatan selain tak punya dokter keluarga. Pasien kita umumnya selalu asing di mata dokter yang dikunjunginya.

Secara medis, tanpa data lengkap pasien, sulit bagi dokter meramal reaksi alergi hebat yang mungkin menimpa pasien. Selain itu, karena keterbatasan waktu praktik, banyak dokter juga kurang mengorek kondisi medis pasien yang belum dikenal. Jika saja dokter lebih banyak bertanya, misalnya adakah bakat alergi, dan menjelaskan kemungkinan alergi hebat bisa terjadi sehabis berobat, dan sekiranya sampai muncul kasus pun, tentu tak sampai diopinikan sebagai malapraktik karena pasien sudah tahu jika risiko itu bakal terjadi. Hingga kini, kasus Steven-Johnson diopinikan masyarakat sebagai kesalahan pihak medis.

Kasus Prita muncul karena tidak dibangun komunikasi dokter dengan pasien. Tanpa penjelasan apa yang dilakukan dokter dan yang akan dialami pasien serta akibat yang mungkin muncul dari berobat, keterbatasan wawasan pasien ihwal penyakitnya mungkin melahirkan opini miring yang justru merugikan dokter.

Merawat akhlak dokter

Tiap dokter mengetahui kewajiban pribadi dan hak pasien. Bukan melalaikan keinsafan itu saja jika kasus malapraktik dan misconduct (bersikap judes, marah, tak ramah) masih muncul. Sejatinya kompetensi dokter dan pasien kelewat senjang. Otonomi dokter nyaris tak terbatas. Tanpa keindahan akhlak, praktik dokter tampil tidak profesional.

Industri medis yang kita anut dan fakta yang merongrong moral dokter adalah rumah sakit harus berinvestasi dan perlu berhitung agar tetap melaba. Pasien yang dilayani pun melebihi jumlah dokter sehingga tergoda berpraktik hingga larut malam dengan konsekuensi praktiknya tidak lagi profesional berpotensi membahayakan pasien.

Mengingat penghargaan pemerintah tak memadai, ada banyak dokter memilih menerima iming-iming dari perusahaan farmasi. Ini mengakibatkan harga obat mahal dan harus dipikul pasien. Praktik memberi obat yang tak perlu dan memilih yang lebih mahal (iatrogenic dan polypharmacy) mencitrakan dokter tidak lagi melihat profesinya.

Dokter dan rumah sakit bisa terjebak berlaku nakal dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang teperdaya jika orientasi profesi dokter hanya demi duit. Tanpa akhlak yang elok, hukum medis bisa ditekuk, regulasi medis bisa dilipat, dan dokter memanfaatkan kekuasaannya yang tinggi. Rekam medis sebagai satu-satunya bukti tindak malapraktik ada di bawah kekuasaan dokter.

Otonomi profesi dokter kelewat tinggi sehingga jika akhlak dokter lumpuh, dokter bisa berkelit dari tudingan melakukan kesalahan. Hukum dan regulasi medis bisa ditaklukkan. Namun, tidak demikian bila akhlak dokter terawat.

Hak pasien harus difungsikan. Wawasan kesehatan masyarakat perlu bertambah cerdas agar lebih kritis dan skeptis atas layanan medis yang diterima. Sadar akan hak sebagai pasien dan kaya wawasan kesehatan membantu dokter merawat akhlaknya. Dokter tidak sembarangan melakukan pekerjaan profesinya. Kita sepakat, tak ada yang lebih berkuasa dari akhlak dalam keunggulan profesi apa pun.

Akhlak dokter tidak boleh dikalahkan oleh apa pun dan tetap eling akan sumpah profesi yang merupakan janji kepada Yang Maha Melihat. Jadi, tak ada pilihan bagi dokter yang ingin tetap profesional, mendahulukan kepentingan pasien dan memilih berpraktik dengan hati.

HANDRAWAN NADESUL Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan; dan Penulis Buku

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/06/03101514/kasus.prita.versus.akhlak.dokter

Friday, June 5, 2009

Kejari Tahan UZ dan Bendahara


Jumat, 5 Juni 2009 | 03:51 WIB

Medan, Kompas - Kejaksaan Negeri Kota Medan, Kamis (4/6) petang, sekitar pukul 18.30, menahan mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan UZ yang kini menjabat Direktur Rumah Sakit Pirngadi, Medan. Bersama UZ, juga ditahan RS, Bendahara Dinas Kesehatan Kota Medan.

Penahanan keduanya terkait dugaan korupsi di tiga bidang, yakni penggunaan sisa anggaran ABPD Kota Medan tahun 2008, penggelapan Pajak Penghasilan eselon tiga dan eselon empat (PPH 21) tahun 2008, dan dana kapitasi asuransi kesehatan bulan Januari hingga Maret 2009.

”Jumlah sementara sekitar Rp 1,5 miliar,” tutur Kepala Kejaksaan Negeri Kota Medan Sudum Situmorang.

Pendalaman kasus

Menurut Sudum, pendalaman kasus ini sudah terjadi tiga minggu terakhir berdasarkan laporan warga masyarakat yang kemudian diselidiki kejaksaan. Sejumlah saksi sudah diperiksa, termasuk UZ yang Kamis kemarin sejatinya dipanggil sebagai saksi.

UZ diperiksa di ruang Kasubsi Penyidikan Pidsus. Ia dibawa ke Rutan Tanjung Gusta, Medan, dengan mobil tahanan Kejari Medan BK 2 X. Wajah UZ tampak kusut meskipun ia terlihat tenang dan berjalan tegak.

Ia diperiksa sejak pagi, mengenakan baju lengan panjang putih bergaris-garis tipis gelap dan celana hitam. Sepanjang jalan dari ruang pemeriksaan hingga mobil tahanan, UZ tutup mulut atas pertanyaan wartawan.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Medan Harli Siregar mengatakan, Kamis pagi, kejaksaan memanggil UZ sebagai saksi atas kasus ini.

Akan tetapi, setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan bukti-bukti bahwa UZ terlibat hingga kemudian dilakukan penahanan. Adapun RS sudah beberapa kali diperiksa. (WSI)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/05/03511438/kejari.tahan.uz.dan.bendahara

Thursday, June 4, 2009

IDI: ‘Sweeping' dokter asing ilegal di Medan


Cetak E-mail
Thursday, 04 June 2009 17:50 WIB
PRAWIRA SETIABUDI
WASPADA ONLINE

MEDAN - Pihak Dinas Kesehatan (Dinkes) Medan maupun Sumatera Utara harus melakukan razia terhadap para dokter asing yang membuka praktek ilegal khususnya Medan.

Demikian penuturan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Medan M Nur Rasyid Lubis kepada Waspada Online, tadi siang.

Menurut Nur Rasyid, IDI Medan sendiri bekerja sama dengan Dinkes Medan dan Sumut akan segera melakukan pengawasan dan melakukan razia terhadap dokter asing ilegal tersebut apabila ketahuan membuka praktik tanpa izin.

"Walaupun sampai saat ini belum ditemukan kasus dokter asing ilegal di Sumut ataupun Medan sendiri, tetapi pihak IDI sendiri terus melakukan pengawasan dan meminta kerjasama masyarakat apabila menemukan dokter asing ilegal di sekitar daerahnya," imbuh Nur Rasyid.

Ditambahkan Nur Rasyid, dokter asing yang ingin melakukan praktiknya di Indonesia tidak terkecuali di Sumut, harus mendapat izin dari Departemen Kesehatan. Hal ini dilakukan untuk keselamatan masyarakat sendiri agar tidak terjadi hal-hal yang sangat tidak diinginkan.

"Kita kan tidak tahu kualitas dokter asing tersebut.. Untuk itu masyarakat harus selalu waspada terhadap kemungkinan kemunculan dokter asing tersebut disini," ujar Rasyid.

IDI mengharapkan agar pihak terkait dalam hal ini Dinkes, segera melakukan pengawasan untuk mencegah masuknya dokter asing ilegal di Sumut khususnya Medan. Nur Rasyid mengatakan IDI Medan sendiri siap membantu Dinkes untuk merazia dokter asing ilegal tersebut.
(dat01/wol-mdn)

BERITA FOTO

BERITA FOTO
Para Top Leader Pengurus IDI Cabang Medan berdiri paling depan, terlihat Pak Ketua diapit oleh ketua BHP2A dan Ketua MKEK

BERITA FOTO

BERITA FOTO
Pelaksana Ketua Wilayah (membelakangi lensa) sedang membaca naskah Pelantikan Pengurus IDI Cabang Medan Periode 2006 - 2009.

BERITA FOTO

BERITA FOTO
Barisan kedua ternyata tak kalah seriusnya, terlihat Dr. Zulhelmi, Dr. Darma Lindarto, Dr. Einil R., Dr. Masrip S., Dr Faisal dkk

Free Hit Counter
Staples Coupon