Penulis : Cornelius Eko (Media Indonesia OL)
JAKARTA--MI: Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengecam keras materi yang tercantum dalam RUU Rumah Sakit. IDI menilai RUU tidak mengakomodir kebutuhan pasien miskin, pasien gawat darurat, jaminan kesehatan pasien dan bertentangan dengan tata logika perundangan.
Lantaran itu, Ketua PB IDI Fahmi Idris di Jakarta, Rabu (23/7) menegaskan, pihaknya akan mengkaji ulang rancangan naskah RUU Rumah Sakit. "Kita akan kembali membuat sejenis naskah banding baru RUU. Mudah-mudahan dalam waktu satu bulan naskah sudah bisa tuntas," tandas Fahmi.
Fahmi memandang, rumah sakit (RS) pada dasarnya adalah barang publik. Artinya, seyogyanya RS dapat diakses oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun. Agar hakekat tersebut dapat dicapai, diperlukan syarat pembiyaan yang solid. Sayangnya, butir ini malah tidak diatur rinci dalam RUU.
Contohnya, bila terjadi kecelakaan, mengacu RS adalah barang publik, maka sejatinya, korban kecelakaan bisa masuk RS terdekat tanpa boleh ditolak RS bersangkutan kendati yang bersangkutan tidak membawa uang. Wacana seperti ini akan terwujud bila terdapat jaminan dalam pembiayaan.
Perihal jaminan pembiayaan ini, tegas Fahmi harus diatur secara rinci. "Harus jelas siapa. Tidak boleh hanya dikatakan akan dijamin negara. Kalau dibilang negara, negara yang mana. Harus diurai," tambah Fahmi. "Perlu juga dirinci, solusi bila (tagihan) tidak terbayar apa solusinya."
IDI juga memandang, dalam RUU belum tercantum bab khusus yang mengatur sistem rujukan. Secara ideal, IDI menilai RS sepatutnya hanya menerima pasien rujukan dari layanan medis dasar. Layanan medis dasar bisa melalui Puskesmas atau yang paling direkomendasikan IDI adalah program dokter keluarga.
"RS tidak boleh menerima pasien di luar rujukan, kecuali pasien gawat darurat. Dengan demikian RS bukanlah Puskesmas raksasa," tuturnya.
Lebih lanjut diungkapkan Fahmi, terkait soal legal aspek, dalam tim kajian IDI, pecah menjadi dua pendapat. Secara hukum, dikatakan hal ini tidak sesuai dengan aturan tata undang. Namun kata Fahmi, dirinya cenderung mengacu pada pendapat kedua. "Sebaiknya dilihat dari besaran masalah. Di luar negeri UU Rumah Sakit pun ada. Namun kontennya sebaiknya harus dibatasi."
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Adip A Yahya berpendapat, seharusnya RS diposisikan sebagai lembaga dengan fungsi sosial. Agar fungsi ini dapat berjalan, sepatutnya RS dibebaskan dari beban pajak, diberi insentif khusus pada pembelia obat serta alat kesehatan. (Tlc/OL-03)
JAKARTA--MI: Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengecam keras materi yang tercantum dalam RUU Rumah Sakit. IDI menilai RUU tidak mengakomodir kebutuhan pasien miskin, pasien gawat darurat, jaminan kesehatan pasien dan bertentangan dengan tata logika perundangan.
Lantaran itu, Ketua PB IDI Fahmi Idris di Jakarta, Rabu (23/7) menegaskan, pihaknya akan mengkaji ulang rancangan naskah RUU Rumah Sakit. "Kita akan kembali membuat sejenis naskah banding baru RUU. Mudah-mudahan dalam waktu satu bulan naskah sudah bisa tuntas," tandas Fahmi.
Fahmi memandang, rumah sakit (RS) pada dasarnya adalah barang publik. Artinya, seyogyanya RS dapat diakses oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun. Agar hakekat tersebut dapat dicapai, diperlukan syarat pembiyaan yang solid. Sayangnya, butir ini malah tidak diatur rinci dalam RUU.
Contohnya, bila terjadi kecelakaan, mengacu RS adalah barang publik, maka sejatinya, korban kecelakaan bisa masuk RS terdekat tanpa boleh ditolak RS bersangkutan kendati yang bersangkutan tidak membawa uang. Wacana seperti ini akan terwujud bila terdapat jaminan dalam pembiayaan.
Perihal jaminan pembiayaan ini, tegas Fahmi harus diatur secara rinci. "Harus jelas siapa. Tidak boleh hanya dikatakan akan dijamin negara. Kalau dibilang negara, negara yang mana. Harus diurai," tambah Fahmi. "Perlu juga dirinci, solusi bila (tagihan) tidak terbayar apa solusinya."
IDI juga memandang, dalam RUU belum tercantum bab khusus yang mengatur sistem rujukan. Secara ideal, IDI menilai RS sepatutnya hanya menerima pasien rujukan dari layanan medis dasar. Layanan medis dasar bisa melalui Puskesmas atau yang paling direkomendasikan IDI adalah program dokter keluarga.
"RS tidak boleh menerima pasien di luar rujukan, kecuali pasien gawat darurat. Dengan demikian RS bukanlah Puskesmas raksasa," tuturnya.
Lebih lanjut diungkapkan Fahmi, terkait soal legal aspek, dalam tim kajian IDI, pecah menjadi dua pendapat. Secara hukum, dikatakan hal ini tidak sesuai dengan aturan tata undang. Namun kata Fahmi, dirinya cenderung mengacu pada pendapat kedua. "Sebaiknya dilihat dari besaran masalah. Di luar negeri UU Rumah Sakit pun ada. Namun kontennya sebaiknya harus dibatasi."
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Adip A Yahya berpendapat, seharusnya RS diposisikan sebagai lembaga dengan fungsi sosial. Agar fungsi ini dapat berjalan, sepatutnya RS dibebaskan dari beban pajak, diberi insentif khusus pada pembelia obat serta alat kesehatan. (Tlc/OL-03)